Konon
pada saat penobatan tahta Kerajaan Kartasura Sri Susuhunan Pakubuwono I,
beliau mempunyai saudara dari selir ayahnya bernama Pangeran Prabu. Ketika
Sri Susuhunan Pabubuwono I dinobatkan sebagai raja, Pangeran Prabu merasa
sakit hati dan ia berniat membunuh Sri Susuhunan Pabubuwono I, namun upayanya
ketahuan, maka sebagai hukuman atas kesalahannya itu Pangeran Prabu ditugasi
menebang kayu di hutan Lodoyo. Ketika itu hutan Lodoyo dikenal
sangat wingit (angker) dan banyak dihuni binatang buas. Karena
Pangeran Prabu merasa salah, untuk menebus kesalahannya beliau berangkat ke
hutan Lodoyo dan diikuti istrinya Putri Wandansari dan abdinya Ki Amat
Tariman dengan membawa pusaka bendhe yang diberi nama Kyai Bicak,
yang akan digunakan sebagai tumbal ‘penolak bala’ di hutan Lodoyo.
Kemegahan
istana ditinggalkan mereka keluar masuk hutan, naik turun gunung, menyusuri
lembah ngarai hingga akhirnya tiba di kawasan Lodoyo yang masih merupakan hutan
belantara yang sangat angker. Pengembaraan jauh itu mereka lakukan
dengan penuh ketabahan, karena mereka percaya tidak akan menghadapi
marabahaya selama mereka membawa pusaka bendhe Kyai Bicak.
Sementara untuk menenangkan hati, Pangeran Prabu melakukan nepi (menyendiri)
di hutan Lodoyo dan bendheKyai Bicak dan abdi setianya Ki Amat Tariman
dititipkan kepada Nyi Rondho Patrasuta, beliau meninggalkan pesan bahwa
setiap tanggal 12 Mulud dan tanggal 1 Sawal supaya bendhe
tersebut disucikan dengan cara disirami atau dijamasi air
bunga setaman dan air bekas jamasan tersebut bisa untuk
mengobati orang sakit dan sebagai sarana ketentraman hidup.
Pada suatu ketika Ki Amat Tariman sangat rindu kepada Pangeran Prabu ia
kemudian berjalan-jalan di hutan, tetapi ia tersesat dan kebingungan, karena
bingungnya Ki Amat Tariman memukul bendhe Kyai Bicak 7 kali, suara
Kyai Bicak menimbulkan keajaiban ketika itu yang datang bukan rombongan
Pangeran Prabu tetapi harimau besar-besar dan anehnya mereka tidak menyerang
atau mengganggu tetapi justru menjaga keberadaan Ki Amat Tariman, dan sejak
itu bendhe Kyai Bicak diberi nama Gong Kyai Pradah yang artinya
harimau
|
Uraian/Deskripsi
singkat:
|
Upacara
adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah merupakan salah satu bentuk
budaya lokal di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur. Tradisi ini sampai
sekarang masih tetap diselenggarakan oleh masyarakat pendukungnya,
yaitu setahun dua kali di Lodoyo, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar. Hal
ini karena masyarakat pendukungnya percaya bahwa tradisi ini masih bermanfaat
dalam kehidupannya.
Pelaksanaan upacara adat siraman pusaka tersebut merupakan bentuk
pemeliharaan secara tradisional benda peninggalan nenek moyang yang berupa Gong
bernama Kyai Pradah, sehingga dengan pemeliharaan ini pusaka Gong Kyai Pradah
akan tetap lestari.
Tradisi Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah dapat menambah rasa
persatuan dan kegotongroyongan antar warga Lodoyo. Selain itu pelaksanaan
tradisi tersebut juga dapat menambah pendapatan masyarakat setempat. Kegiatan
ini menjadi salah satu aset wisata budaya di Lodoyo khususnya dan di
Kabupaten Blitar pada umumnya.
Upacara adat siraman pusaka Gong Kyai Pradah banyak mengandung
nilai-nilai budaya luhur warisan nenek moyang, oleh karena itu sebaiknya
tradisi tersebut tetap dilestarikan dan diinternalisasikan kepada generasi
muda supaya mereka tidak lepas dari akar budayanya.
Waktu pelaksanaan tradisi siraman pusaka Gong Kyai Pradah setahun
dua kali, berdasarkan perhitungan kalender Jawa yaitu setiap tanggal
12 Mulud dan tanggal 1 Sawal. Penentuan tanggal pelaksanaan
tersebut berdasarkan pesan dari Pangeran Prabu yang diwariskan secara
turun-temurun kepada generasi penerusnya.
|
UPACARA ADAT SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DI BLITAR
CB Blogger |
|
Label:
Blitar,
Budaya Blitar
Post a Comment